Pagi menyapa lembah Selebung dengan cemerlang. Kabut tipis menari di sela-sela ilalang, diterpa sinar matahari muda yang menyelinap dari balik Gunung Rinjani. Udara basah menyatu dengan aroma tanah dan dedaunan basah. Burung-burung kecil bersahut di kejauhan, melengkapi orkestra alami yang hanya bisa dirasakan di desa yang bersisian dengan langit.

Di sudut desa itu, seorang pemuda bernama Tega menggenggam segenggam pelet ikan, menaburkannya ke kolam kecil berukuran dua are peninggalan mendiang ayahnya. Air beriak lembut saat ikan-ikan menyeruak ke permukaan, memecah bayangan Tega yang tergurat di atasnya. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar tegak, ia sudah menyambut hari dengan rutinitas itu. Bersama ibunya, satu-satunya keluarga yang tersisa, mereka menggantungkan hidup pada kolam kecil yang penuh perjuangan itu.

Tega, anak muda yang baru saja menyelesaikan bangku SMA, memilih tak melanjutkan kuliah demi menjaga ibunya dan mempertahankan warisan ayahnya. Ekonomi menjadi alasan, tapi kasih kepada ibunya adalah pengikat utamanya.

Pagi itu, di antara kabut yang perlahan surut, sebuah siluet muncul di pematang sawah. Seorang gadis muda dengan kerudung abu-abu berjalan pelan ke arah rumah Tega. Langkahnya ringan, tapi pasti. Tega tak menyadari kehadirannya sampai suara lembut memanggil namanya, “Tega…”

Suara itu seperti menggetarkan udara. Tega tercekat. Suara itu begitu akrab, karena ia telah memimpikannya berkali-kali. Ia menoleh perlahan, tubuhnya menggigil. Di hadapannya berdiri Laela—anak dari Haji Usman, saudagar gabah yang kaya raya dan terpandang di desa.

“Laela…” gumam Tega, nyaris tak terdengar.

Wajahnya merah, tangan gemetar, dan kata-katanya tertahan. Ia tak pernah menyangka, gadis yang hanya bisa ia kagumi dari jauh kini berdiri di depannya, tersenyum manis dengan mata bening yang memancarkan ketulusan.

Laela, mahasiswi pintar di kota, juara kelas, dikenal banyak orang karena kecantikannya dan prestasinya, rupanya menyimpan rasa yang dalam untuk Tega. Ia kagum pada kesederhanaan dan ketulusan Tega, terlebih pada sikapnya yang penuh kasih sayang terhadap sang ibu.

Namun, hubungan mereka tidak semudah embun pagi. Haji Usman, ayah Laela, tak menyukai kedekatan mereka. Baginya, Tega hanyalah anak kolam, tak layak untuk anaknya yang pintar dan jelita. Ia menginginkan menantu dari kota, yang bergaya rapi, tidak seperti Tega yang kadang memakai celana seperti petani lupa arah.

Tiap libur kuliah, Laela tetap datang. Ia membantu Tega memberi makan ikan, mengobrol dengan ibunya, dan menertawakan hal-hal kecil di pinggir kolam. Ibu Tega memperlakukan Laela seperti anak sendiri, dan diam-diam berharap cinta mereka bisa tumbuh kuat.

Namun tekanan dari Haji Usman semakin besar. Ia mengingatkan Laela akan martabat keluarga, akan masa depan yang cerah. Tapi yang tak ia ungkapkan adalah alasan sebenarnya: dahulu kala, ia pernah mencintai ibu Tega, dan cintanya ditolak.

Satu sore, saat hujan gerimis mengiringi senja, Laela menemukan sebuah catatan di balai bambu tempat Tega biasa duduk termenung. Tulisan tangan Tega tergurat dengan tinta biru, berlembar-lembar.

“Jangan relakan aku mencintaimu, Laela. Sebab aku tak tega menyakitimu. Dunia kita berbeda, dan aku tak ingin kau menyesal… Tapi jika cinta ini bisa membuatmu bahagia, datanglah saat fajar, di pematang, tempat kita pertama bertemu.”

Air mata Laela jatuh, dan pagi berikutnya, ia datang. Tanpa berkata banyak, mereka menggandeng tangan dan pergi meninggalkan desa. Dengan keberanian yang hanya cinta sejati bisa lahirkan, mereka kawin lari ala orang Sasak: sederhana, tulus, dan penuh keyakinan.

Gunung Rinjani menyaksikan segalanya. Kabut yang dahulu turun sebagai selimut kini menjadi saksi cinta dua anak manusia yang memilih bersama, melampaui nama, harta, dan masa lalu.

Kemarahan Haji Usman memuncak saat ia menyadari Laela tak dapat dihubungi dan tak kembali ke rumah. Ia menggedor pintu rumah Tega dengan penuh amarah. “Tega! Keluarkan anak itu!” teriaknya.

Namun dari samping rumah, di antara kolam dan pematang, terdengar suara lembut namun tegas, “Ada apa, Usman? Bisakah kau memanggil anakku tanpa berteriak seperti orang kehilangan jiwa?”

Haji Usman menoleh. Di hadapannya berdiri wanita yang pernah memenuhi mimpi dan masa mudanya—ibu Tega. Napasnya tercekat, keringat dingin mengalir di pelipis. Wanita itu, yang pernah menolak cintanya, kini berdiri dengan tatapan tajam namun teduh.

“Aku suka dengan keuletanmu, Usman,” katanya tenang, “tapi aku tak pernah suka caramu berbicara—keras, seperti bunyi peralatan dapur jatuh ke lantai. Tak pernah ada kelembutan di dalamnya.”

Usman membisu. Sebuah kenangan lama membuncah. Hatinya yang keras itu, remuk dalam diam. Ia tak mampu membantah, tak mampu marah.

Hari demi hari berlalu, kabar Tega dan Laela tersebar ke penjuru desa. Ibu Laela, yang selama ini diam dalam bayang-bayang suaminya, akhirnya angkat suara. Di hadapan suaminya, ia berkata, “Kalau mereka bahagia, siapa kita melarang? Anak kita tidak lari dari tanggung jawab, mereka hanya memperjuangkan cinta. Bukankah itu yang dulu juga kau lakukan, Usman?”

Dan untuk pertama kalinya, Haji Usman menunduk. Tak lagi dengan kemarahan, melainkan dengan pengakuan. Dalam diam, ia menyadari bahwa cinta sejati tak bisa dibungkam oleh nama, status, atau masa lalu.

Ia menatap mata istri dan berkata pelan, “Kau benar. Mungkin… sudah waktunya aku belajar mendengar.”

Beberapa bulan kemudian, di halaman rumah sederhana Tega yang kini dibangun kembali bersama Laela, diadakan selamatan kecil. Tak mewah, hanya doa dan nasi bungkus, tapi penuh tawa, peluk, dan restu.

Haji Usman datang, berdiri di sisi ibu Tega, dan tanpa kata-kata panjang, ia menggenggam tangan wanita itu. Tak ada yang perlu dijelaskan, karena di balik genggaman itu, cinta lama telah menemukan jalannya.

Dan Rinjani, seperti biasa, memandang dari jauh. Agung dan abadi, menyaksikan kisah cinta yang sederhana namun abadi—kisah tentang keikhlasan, keberanian, dan cinta yang tak tega menyakiti.